Warna Kulit dan Stratifikasi Sosial
Perjuangan Representasi di Ruang Media Sosial TikTok
DOI:
https://doi.org/10.21831/dimensia.v14i2.81746Keywords:
colorism, beauty transformation, tiktok, Women, tan skinAbstract
Di tengah masyarakat Indonesia kontemporer, standar kecantikan masih cenderung memihak pada kulit terang, memperkuat hierarki estetika yang berakar pada praktik colorism. Penelitian ini menyoroti bagaimana TikTok mulai menggeser narasi tersebut melalui representasi perempuan berkulit sawo matang. Meskipun warna kulit ini mencerminkan mayoritas populasi tropis Indonesia, ia masih kerap terpinggirkan dalam konstruksi kecantikan arus utama. Dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan teori stratifikasi sosial Max Weber, studi ini mengeksplorasi peran TikTok sebagai ruang digital yang memungkinkan perlawanan simbolik terhadap dominasi warna kulit tertentu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan sawo matang memanfaatkan TikTok untuk membangun narasi tandingan dan mengekspresikan penerimaan diri, terutama melalui tagar seperti #day1merusakstandarkecantikanindonesia. Media sosial berfungsi sebagai alat kultural untuk mendekonstruksi bias estetika dan memperluas wacana publik mengenai identitas dan keberagaman kecantikan.
In contemporary Indonesian society, beauty standards continue to privilege light skin, reinforcing longstanding hierarchies rooted in colorism. This study investigates how TikTok is reshaping those norms by spotlighting the experiences of medium-brown-skinned (sawo matang) women. Although their skin tone reflects the majority of Indonesia’s population, it remains underrepresented or undervalued in mainstream aesthetics. Through a qualitative approach and guided by Max Weber’s theory of social stratification, this research explores TikTok’s role in contesting color-based social hierarchies. The findings indicate that women with sawo matang skin tone utilize TikTok not only to express self-acceptance but also to construct counter-narratives that challenge dominant beauty ideals. Hashtags such as #day1merusakstandarkecantikanindonesia serve as digital tools for disrupting aesthetic bias. Ultimately, the study highlights how digital platforms provide space for symbolic resistance and broaden public discourse around beauty, identity, and diversity.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
Citation Check
License
Copyright (c) 2025 ken ifa, arief sudrajat, Febriandita Tedjomurti

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Penulis yang menerbitkan jurnal ini menyetujui ketentuan berikut:
- Penulis memegang hak cipta dan memberikan hak publikasi pertama kepada jurnal dengan karya tersebut secara bersamaan dilisensikan di bawah Lisensi Atribusi Creative Commons yang memungkinkan orang lain untuk berbagi karya dengan pengakuan atas kepenulisan karya dan publikasi awal di jurnal ini.
- Penulis dapat mengadakan perjanjian kontrak tambahan yang terpisah untuk distribusi non-eksklusif dari karya versi terbitan jurnal (misalnya, mempostingnya ke repositori institusi atau menerbitkannya dalam buku), dengan pengakuan atas publikasi awalnya pada tahun jurnal ini.
- Penulis diizinkan dan didorong untuk memposting karya mereka secara online (misalnya, di repositori institusi atau di situs web mereka) sebelum dan selama proses penyerahan, karena hal ini dapat mengarah pada pertukaran yang produktif, serta kutipan karya yang diterbitkan lebih awal dan lebih banyak (Lihat The Pengaruh Akses Terbuka).
====================================================
Authors who publish with this journal agree to the following terms:
- Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution License that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this journal.
- Authors are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book), with an acknowledgement of its initial publication in this journal.
- Authors are permitted and encouraged to post their work online (e.g., in institutional repositories or on their website) prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work (See The Effect of Open Access).