KIAI PESANTREN DAN PEMIKIRANNYA TENTANG NUSYUZ (STUDI KASUS DI KABUPATEN JEMBER)
Abstract
Kiai Pesantren tidak sekadar guru. Ia juga menjadi tempat berkeluh kesah semua
persoalan masyarakat. Termasuk dalam masalah perkawinan. Termasuk dalam
persoalan perkawinan. Salah satu persoalan itu adalah tentang nusyuz. Nusyuz
seringkali ditimpakan pada seorang perempuan (istri) yang seringkali meninggalkan
persoalan relasi gender. Penelitian lapangan ini memotret pandangan Kiai Pesantren di
Jember Jawa Timur tentang nusyuz. Penelitian kualitatif ini menemukan bahwa
kefariatifan berfikir Kiaia dapat dilihat dari cara-cara mereka berpendapat yang
kemudian oleh peneliti dianalisis dengan menggunakan metode Bayani, Qiyasi,
Istislahi. Dan dari hasil analisis tersebut ditemukan dua metode istinbath yang
digunakan oleh para kiai Jember, yaitu; istinbath bayani dan istinbath istislahi. Terkait
dengan adanya penafsiran ayat nusyuz, penelitian ini menemukan dua corak penafsiran
yaitu (1) corak penafsiran tekstual yang terekam lewat kekakuan mereka ketika
menafsirkan ayat nusyuz, dan lebih menitik beratkan kepada kekuasaan seorang suami
untuk melakukan sebuah tindakan kepada seorang istri. (2) corak penafsiran
kontekstual terlihat lewat penafsiran mereka yang lebih cenderung kepada pengkajian
ulang terhadap ayat-ayat nusyuz sehingga terkesan bahwa nusyuz tidak hanya dimiliki
oleh istri. Hal ini disebabkan karena adanya pro dan kontra terhadap pemikiran nusyuz
yang lebih humanis.
Head of boarding school (Kiai Pesantren) is not just a teacher. He also became a place to
complain about all the problems of the community. Included in the issue of marriage. Included
in the issue of marriage. One of the problems is about Nusyuz. Nusyuz is often inflicted on a
woman (wife) who often leaves the issue of gender relations. This field research portrays the
views of Kiai Islamic Boarding Schools in Jember, East Java, about Nusyuz. This qualitative
research found that the effectiveness of Kiaia's thinking can be seen from the ways they argued
that the researchers then analyzed it using the Bayani, Qiyasi, Istislahi method. And from the
results of the analysis found two istinbath methods used by the Jember scholars, namely;
istinbath bayani and istinbath istislahi. In connection with the interpretation of the nusyuz
verse, this study found two interpretive features, namely (1) the style of textual interpretation
recorded through their rigidity when interpreting the verse nusyuz, and more focused on the
power of a husband to take an action to a wife. (2) the style of contextual interpretation can be
seen through their interpretation which is more inclined to a reassessment of the nusyuz verses
so that it seems that nusyuz is not only owned by the wife. This is due to the existence of pros
and cons of the more humanistic thoughts of Nusyuz.
Keywords
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.21831/hum.v17i1.23122
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 Mohamad Ikrom
Supervised by
Our Journal has been Indexed by
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum by http://journal.uny.ac.id/index.php/humanika is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.