KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN: NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR
Abstract
Ziarah kubur merupakan tradisi yang melekat dalam tradisi masyarakat Jawa. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud hormat bagi leluhur mereka, namun memiliki pemaknaan akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa persitiwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang melakukan ritual ziarah kubur untuk mendoakan dan menyelipkan harapan atau berkah pangestu melalui leluhur mereka. Permohonan ini dipanjatkan tidak hanya melalui leluhur mereka secara pribadi, namun juga leluhur mereka secara komunal yang sering disebut dengan pepunden. Sebagai wujud nyata penghormatan leluhur secara komunal, maka dikenal adanya tradisi slametan, merti desa, dan bahkan dihadirkan melalui pertunjukan wayang kulit. Semua tradisi ini menjadi ritual di sekitar ziarah kubur karena terdapat wujud hormat dan permohonan melalui leluhur mereka, yang semuanya mengarah pada penunjukan identitas manusia Jawa.
Tradisi di sekitar ziarah kubur ini tergambar di tengah masyarakat Desa Banyubiru. Sebuah desa yang terletak di lereng gunung Telomoyo dan di dekat Rawa Pening. Kondisi alam semacam ini menyebabkan konsepsi ritual penghormatan leluhur semakin kuat. Namun, di tengah masyarakat Banyubiru muncul usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran Gereja Kristen Jawa. Ajaran Kristen memandang bahwa setelah kematian tidak ada keterhubungan antara yang masih hidup dengan roh orang meninggal. Orang yang meninggal sudah langsung berada di Surga. Pemahaman ini didasarkan atas teks Alkitab dan tafsiran dari para Pendeta.
Jemaat Gereja Kristen Jawa akhirnya harus menegosiasikan identitasnya antara kejawaan dan kekristenan. Untuk melihat mekanisme negosiasi identitas, kajian ini menggunakan pendekatan Foucault tentang panoptikon. Dari hasil kajian yang telah dilakukan ternyata teori panoptikon Foucault masih terbatas. Foucault melihat adanya pengawasan berasal dari satu titik saja atau bersifat tunggal. Dalam kajian ini ternyata ada dua pengawasan yang mempengaruhi negosiasi identitas. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sebagai usaha purifikasi dan aturan komunal dalam masyarakat. Akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa usaha purifikasi tidak berhasil secara total. Kegagalan purifikasi ini disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ yang dipengaruhi oleh kekuasaan di sekitarnya, dalam hal ini kekuatan tradisi lokal. Jemaat GKJ tetap melakukan ziarah kubur namun di sisi lain tidak melakukan ritual dan pemaknaan seperti dalam tradisi Jawa.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.21831/hum.v16i1.12139
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2016 HUMANIKA
Supervised by
Our Journal has been Indexed by
Humanika: Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum by http://journal.uny.ac.id/index.php/humanika is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.