FUNGSI DAN MULTIKULTURALISME DALAM SENI DIDONG PADA MASYRAKAT GAYO KABUPATEN ACEH TENGAH

Putra Afriadi, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Abstract


Seni Didong berperan besar dalam mempersatukan etnis Gayo yang memiliki berbagai macam pendapat mengenai nilai-nilai moral dan estetika. Didong memiliki fungsi, antara lain: fungsi ekspresi emosional, fungsi tentang kenikmatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi representasi simbolis, fungsi respon fisik, fungsi konfornitas terhadap norma-norma sosial, fungsi validasi tentang institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan, fungsi tentang kontribusi terhadap kontinuitas dan stabilitas budaya, fungsi kontribusi terhadap integrasi masyarakat. Masyarakat Gayo harus menyatukan paradigma tentang seni pertunjukan Didong dan Didong Jalu sebagai identitas budaya daerah. Dalam persepektif multikulturalisme, Didong merupakan sebuah sarana untuk menyatukan seluruh etnis yang ada di daerah Gayo, bukan sebaliknya. Didong tidak diklaim sebagai kepemilikan setiap daerah melainkan kepemilikan bersama dan harus dapat menyatukan pemahaman estetika tentang apa yang ada dalam pertunjukan Didong secara keseluruhan, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman yang dapat merusak nilai seni dari Didong itu sendiri.

Kata kunci: budaya, Didong, Didong Jalu, fungsi, multikulturalisme

 

FUNCTION AND MULTICULTURALISM IN DIDONG ART IN GAYO SOCIETY OF ACEH CENTRAL DISTRICT

Abstract

Didong art plays a major role in unifying the Gayo ethnic who have a wide range of opinions regarding moral and aesthetic values about the existing culture. Didong art has such functions as: emotional expression function, function of aesthetic pleasure, entertainment function, communication function, symbolic representation function, physical response function, conformity function to social norms, validation function of social institutions and religious rituals, functions on contribution to continuity and cultural stability, contribution function to community integration. Gayo society should unify the paradigm about Didong and Didong Jalu performing arts as the cultural identity of the region. In multicultural perspectives, Didong is a means to unite all ethnic groups in the Gayo area, not the other way around. Didong is not claimed as possession of any area but a joint ownership and must be able to unite aesthetic understanding of what is in the Didongshow overall, so there is no misunderstanding that can damage the value of art of Didong itself.

Keywords: culture, Didong, Didong Jalu, function, multiculturalism


Full Text:

PDF

References


Algayoni, Yusradi Usman. 2015. “Pelestarian Bahasa Gayo”. Jurnal: Serambi Indonesia 2015.

Darmawan, 2010. “Peranan Sarak Opat Dalam Masyarakat Gayo”. Jurnal: Kanun No.50 Edisi April 2010.

Haviland, Wiliam A. 1988. “Antropologi: Jilid 2”. Jakarta : Erlangga.

Koentjaraningrat. 2009. “Pengantar Ilmu Antropologi”. Rineka Cipta.

Melalatoa, M. Junus. 2001. “Didong Pentas Kreativitas Gayo”. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia

Merriam, Alan P. 2000. “Antropologi Musik ( Terjemahan) ”. Universitas Negeri Semarang. Semarang. 2000.

Parekh, Bikhu. 2008. “ Rethingking Multikulturalisme, Keberagaman Budaya Dan Teori Politik”. Yogyakarta : Impulse dan Kanisius.

Syam, Nur. 2009. “Tantangan Multikulturalisme Indonesia”. Yogyakarta : Impulse Dan Kanisius.

Triyanto. 2017. “Spirit Ideologis Pendidikan Seni”. Semarang: Cipta Prima Nusantara.




DOI: https://doi.org/10.21831/imaji.v15i2.18296

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




Supervised by

RJI Main logo


Our Journal has been Indexed by:

       

 Creative Commons License

website statistics View My Stats